Berita Palu

WALHI Sulteng Nilai Pengadilan Negeri Parimo Langgengkan Kejahatan HAM

208
×

WALHI Sulteng Nilai Pengadilan Negeri Parimo Langgengkan Kejahatan HAM

Sebarkan artikel ini

INIPALU.COM – Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (ED WALHI) Sulawesi Tengah mengecam putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Parigi Moutong.

Menyatakan terdakwa Bripka Hendra tidak terbukti secara sah dan membebaskan Bripka Hendra anggota kepolisian yang di duga kuat melakukan praktik penembakan yang menyebabkan hilangnya nyawa Erfaldi, seorang pemuda asal desa Tada, Tinombo Selatan, yang tewas tertembak dalam aksi masa Aliansi Rakyat Tani (ARTI) penolakan tambang emas milik PT Trio Kencana, pada Februari tahun lalu.

Kepala Departemen Advokasi & Kampanye WALHI Sulteng, Aulia Hakim menilai putusan tersebut hanya menambah daftar panjang rendahnya hukuman bagi pelaku pelanggaran HAM, sekaligus juga melukai rasa keadilan bagi keluarga korban dan masyarakat.

Putusan tersebut sangat mencerminkan bahwa institusi pengadilan hanya menjadi alat merawat dan melanggengkan impunitas terhadap para aparat keamanan yang melakukan tindakan semena-mena diluar aturan hukum dengan mengatasnamakan penegakan hukum.

“negara telah memperlihatkan watak aslinya dalam menegakan keadilan, tidak ada keberpihakan negara terhadap warga yang mempertahankan Hak atas lingkungan hidup, Hak asasi manusia, dan Hak untuk berekspresi, dan itu terbukti pada kasus penembakan Erfaldi ini” ujar Aulia (04/03/23)

Seperti diketahui Erfaldi (Alm) tewas tertembak dengan kondisi mengalami luka tembak dibagian punggung kanan, pada 12 Februari 2022. Pemuda asal desa Tada, Parigi Moutong ini dilarikan ke Puskemas setempat namun tidak tertolong.

Dari hasil uji balestik terhadap senjata api jenis Mek HS-9 serta satu ptoyektil yang ditemukan pada jaket Erfaldi, pada 02 Maret 2022 di Laboratorskriminalistik, senjata api dan proyektil tersebut benar merupakan milik BRIPKA Hendra.

Atas dasar hasil uji balestik diwaktu yang bersamaan juga Kapolda Sulawesi Tengah mengumumkan bahwa BRIPKA Hendra sebagai tersangka atas tewasnya Erfaldi.

“Kami menyanyangkan putusan Majelis Hakim yang membebaskan BRIPKA Hendra, harusnya majelis hakim dalam putusannya harusnya out of the box (melihat dari sisi yang keluar dari kebiasaan-kebiasaan). Pasalnya tindakan BRIPKA Hendra ini bertentangan dengan aturan pengendalian masa sesuai dengan Peraturan Kapolri (PERKAP) Nomor 16 Tahun 2006 Pasal 7 Ayat (1) huruf d yang jelas menyebutkan larangan untuk membawa senjata tajam dan peluru tajam dalam melakukan pengendalian unjuk rasa” jelas Aulia.

Hal ini juga tentu sangat bertolak belakang dengan hukum HAM International dan konstitusi Indonesia, mengingat pembunuhan di luar hukum oleh aparat keamanan merupakan pelanggaran hak hidup, hak fundamental, seperti yang tertuang dalam hukum HAM International, Pasal 6 Kovenan International tentang hak-hak sipil dan politik (ICCPR) telah menegaskan bahwa setiap individu memiliki hak untuk hidup dan tidak boleh ada seorangpun yang beoleh dirampas hak hidupnya.

Belum lagi ini tentu bertentangan dengan pedoman pasal 28H ayat (1) UUD 1945, dan UU 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup,sebagaimna yang dilakukan Erfaldi dalam mempertahankan ha katas lingkungan hidup yang baik.

Oleh karena itu WALHI Sulteng menilai, dengan adanya putusan tersebut mencerminkan minimnya penghukuman yang berat terhadap para aparat keamanan yang jelas akan berdampak pada proses peradilan terhadap pelaku penembakan, yang notabene adalah aparat penegak hukum.

Majelis hakim PN Parimo telah menambah catatan buruk bagi peradilan Indonesia yang memberikan ruang keringanan bagi aparat kepolisian dalam melakukan tindak kejahatan.***

IMG-20240313-WA0017

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *