INIPALU.com – Kekerasan terhadap jurnalis kembali terjadi, kali ini menimpa Ridha Yansa, jurnalis Rajawali Televisi (RTV), saat meliput aksi unjuk rasa di Mapolda Gorontalo, Senin (23/12). Insiden ini mendapat kecaman keras dari Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Pusat, yang menilai tindakan tersebut sebagai ancaman serius terhadap kebebasan pers di Indonesia.
Ketua Umum IJTI, Herik Kurbiawan, menyatakan bahwa kekerasan yang dilakukan oleh Karo Ops Polda Gorontalo, Kombes Pol. Tony E.P. Sinambela, melanggar konstitusi dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. “Tindakan ini bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi dan merupakan ancaman langsung terhadap kemerdekaan pers, yang menjadi pilar utama negara demokrasi,” tegas Herik.
Kejadian bermula saat Himpunan Mahasiswa Indonesia (HMI) Badko Sulawesi Utara-Gorontalo menggelar aksi demonstrasi memprotes maraknya peredaran rokok ilegal di Gorontalo. Massa membakar ban di gerbang Mapolda Gorontalo, sehingga situasi memanas hingga aparat melakukan penangkapan terhadap beberapa peserta aksi.
Ridha Yansa, yang tengah mendokumentasikan kejadian, didatangi oleh Kombes Pol. Tony E.P. Sinambela. Ridha dipukul pada tangan yang memegang ponsel, menyebabkan perangkat tersebut terjatuh dan rusak. “LCD ponsel rusak dan tidak bisa digunakan untuk merekam. Padahal saya sudah mengenakan ID card resmi sebagai jurnalis,” jelas Ridha.
IJTI Pusat menilai tindakan Kombes Pol. Tony sebagai pelanggaran serius terhadap kebebasan pers. Mereka mengajukan tiga tuntutan utama:
Sekretaris Jenderal IJTI, Usmar Almarwan, juga menekankan pentingnya profesionalisme jurnalis dalam menjalankan tugas. “Kami mengingatkan seluruh jurnalis untuk tetap berpegang pada kode etik jurnalistik dan menjalankan tugas secara profesional. Namun, kami juga menegaskan bahwa intimidasi atau kekerasan terhadap jurnalis adalah tindakan yang tidak dapat ditoleransi,” katanya.
IJTI menegaskan bahwa kemerdekaan pers adalah elemen vital demokrasi yang harus dijaga. Tindakan intimidasi atau kekerasan terhadap jurnalis tidak hanya melukai individu, tetapi juga merusak kepercayaan publik terhadap institusi negara.
Melalui pernyataan resminya, IJTI juga mengajak seluruh insan pers untuk bersolidaritas dan bersama-sama menolak segala bentuk ancaman terhadap kebebasan pers. “Kami tidak akan diam dalam menghadapi ancaman ini. Kemerdekaan pers adalah hak yang harus diperjuangkan bersama,” ujar Herik Kurbiawan.
IJTI berharap insiden ini menjadi momentum bagi semua pihak untuk merefleksikan pentingnya menghormati kebebasan pers dan menjaga profesionalisme dalam menjalankan tugas masing-masing. “Kami menunggu langkah nyata dari Kepolisian RI dalam menyelesaikan kasus ini. Kepercayaan masyarakat terhadap institusi kepolisian juga dipertaruhkan di sini,” pungkas Usmar.
Pernyataan resmi IJTI ditutup dengan seruan kepada jurnalis di seluruh Indonesia untuk terus bekerja dengan integritas dan berani melawan segala bentuk intimidasi.(*)
Tidak ada komentar