Masyarakat Hukum Adat di Sulawesi Tengah Terancam: Desakan Pengesahan Perda Semakin Kuat

waktu baca 4 menit
Senin, 24 Mar 2025 16:58 0 159 INIPALU

INIPALU.com – Keberadaan masyarakat hukum adat di Sulawesi Tengah menghadapi ancaman serius akibat dinamika pembangunan dan eksploitasi sumber daya alam yang terus berlangsung. Meskipun berbagai regulasi nasional telah mengakui hak-hak masyarakat hukum adat, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar komunitas adat masih belum mendapatkan perlindungan hukum yang memadai. Situasi ini memicu desakan agar pemerintah provinsi segera mengesahkan Peraturan Daerah (Perda) yang lebih konkret untuk melindungi hak-hak masyarakat adat dan mencegah semakin luasnya pelanggaran serta ketimpangan yang mereka alami.

Secara hukum, pengakuan terhadap masyarakat hukum adat telah diatur dalam berbagai regulasi. Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat.” Selain itu, Pasal 28I ayat (3) UUD 1945 menekankan bahwa identitas budaya dan hak masyarakat tradisional harus dihormati sesuai perkembangan zaman dan peradaban.

Di tingkat daerah, beberapa kabupaten di Sulawesi Tengah telah menginisiasi Perda terkait pengakuan dan perlindungan masyarakat adat, di antaranya:

  • Perda Kabupaten Morowali No. 13 Tahun 2012 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Suku Wana.
  • Perda Kabupaten Sigi No. 15 Tahun 2014 tentang Pemberdayaan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat di Kabupaten Sigi.
  • Perda Kabupaten Tojo Una-Una No. 11 Tahun 2017 tentang Pengukuhan Masyarakat Hukum Adat Tau Taa Wana.

Namun, Perda tersebut hanya berlaku di kabupaten masing-masing dan belum mencakup seluruh komunitas adat di Sulawesi Tengah. Selain itu, banyak masyarakat adat yang wilayahnya melintasi batas administrasi kabupaten/kota, sehingga regulasi di satu daerah tidak bisa secara efektif melindungi mereka.

Kondisi ini menguatkan urgensi pengesahan Perda di tingkat provinsi agar perlindungan hukum dapat diberikan secara menyeluruh.

Menurut data Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) tahun 2023, terdapat 89 komunitas masyarakat adat yang tersebar di Sulawesi Tengah. Dari jumlah tersebut, 96% belum memiliki perlindungan hukum yang memadai dalam bentuk Perda, Peraturan Bupati, ataupun Keputusan Bupati. Akibatnya, mayoritas komunitas adat masih berada dalam situasi yang rentan, terutama terkait kepemilikan tanah dan hak atas sumber daya alam.

Tanpa regulasi yang jelas, masyarakat adat tidak hanya kehilangan hak-hak atas tanah adat mereka, tetapi juga menghadapi risiko kriminalisasi dan penggusuran. Beberapa kasus di lapangan menunjukkan bahwa masyarakat adat yang memperjuangkan hak mereka justru dikriminalisasi, sementara perusahaan-perusahaan besar dapat mengeksploitasi sumber daya alam dengan dukungan pemerintah, tanpa mempertimbangkan keberadaan masyarakat adat.

  1. Ketidakmerataan Pemahaman dan Keberpihakan Pemerintah Daerah
    Tidak semua kabupaten/kota di Sulawesi Tengah memiliki pemahaman yang sama terkait pentingnya pengakuan masyarakat hukum adat. Beberapa daerah masih enggan menyusun kebijakan yang berpihak pada masyarakat adat, sehingga menciptakan ketimpangan perlindungan hukum di berbagai wilayah.
  2. Wilayah Adat yang Melintasi Administrasi Kabupaten/Kota
    Beberapa komunitas adat, seperti Tau Taa Wana dan Topo Unde, berada di wilayah adat Nggolo, yang melintasi batas beberapa kabupaten/kota. Ketidaksesuaian batas administrasi ini menimbulkan hambatan dalam upaya perlindungan dan pengakuan hak masyarakat adat, karena kebijakan di satu kabupaten belum tentu berlaku di wilayah lainnya.
  3. Hak Atas Tanah dan Kekayaan Alam yang Belum Pasti
    Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 telah mengakui bahwa hutan adat adalah milik masyarakat adat, bukan bagian dari hutan negara. Namun, implementasi di lapangan sering kali terganjal regulasi yang tumpang tindih serta kebijakan yang lebih mengutamakan kepentingan investor ketimbang masyarakat adat.

Situasi ini mendorong berbagai organisasi advokasi untuk menuntut percepatan pengesahan Peraturan Daerah (Perda) tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat (PPMHA). Dalam pernyataan sikapnya, Koalisi Advokasi untuk Rekognisi Hak Masyarakat Hukum Adat (KARAMHA) menyampaikan beberapa tuntutan:

  1. Ranperda PPMHA yang telah dimasukkan dalam Program Pembentukan Peraturan Daerah (PROPEMPERDA) Tahun 2025 harus segera diprioritaskan pembahasannya oleh DPRD Provinsi Sulawesi Tengah.
  2. Dalam proses pembahasan Ranperda PPMHA, harus melibatkan para pemangku hak (rightholder’s) dan stakeholder terkait dengan prinsip keterbukaan dan partisipasi yang bermakna.

Menurut Joisman Tanduru, Dinamisator KARAMHA, pengesahan Perda ini sangat mendesak untuk memberikan kepastian hukum bagi masyarakat adat di Sulawesi Tengah.

“Kami mendorong DPRD dan pemerintah provinsi agar mempercepat pengesahan Perda ini. Tanpa regulasi yang kuat, masyarakat adat terus menghadapi ancaman kehilangan tanah dan sumber daya alam mereka,” tegas Joisman.

Hal senada disampaikan oleh Amran Tambaru, Direktur Yayasan Merah Putih (YMP) Sulawesi Tengah. Ia menyoroti bahwa tanpa perlindungan hukum, masyarakat adat akan terus berada dalam posisi yang lemah.

“Perusahaan-perusahaan besar dengan mudah mendapatkan izin eksploitasi lahan, sementara masyarakat adat yang sudah turun-temurun tinggal di wilayah itu malah kehilangan haknya. Ini adalah bentuk ketidakadilan yang harus segera diperbaiki,” kata Amran.

Dengan meningkatnya tekanan dari berbagai pihak, pemerintah provinsi diharapkan segera mengambil langkah konkret dalam mempercepat pembahasan dan pengesahan Perda PPMHA. Jika tidak, ketimpangan sosial dan konflik agraria di Sulawesi Tengah berpotensi semakin meningkat.

Perlindungan terhadap masyarakat adat bukan hanya soal keadilan sosial, tetapi juga bagian dari komitmen negara dalam menghormati hak-hak asasi manusia serta menjaga keberlanjutan lingkungan hidup. Jika pemerintah serius dalam menjalankan mandat konstitusi, maka tidak ada alasan lagi untuk menunda pengesahan Perda ini.(*)

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Facebook Pagelike Widget
LAINNYA