INIPALU.com – Kuasa hukum jurnalis media online Hendly Mangkali, Dr. Muslimin Budiman, menyebut bahwa penetapan kliennya sebagai tersangka dalam kasus dugaan pencemaran nama baik terasa dipaksakan dan tidak memenuhi unsur pidana yang berlaku.
Dalam keterangannya kepada wartawan pada Sabtu (3/5), Muslimin Budiman menyatakan telah membaca secara cermat isi berita yang menjadi dasar pelaporan terhadap kliennya. Ia menilai tidak ditemukan unsur formil pencemaran nama baik dalam konten yang dipermasalahkan.
“Saya sudah membaca berita yang dijadikan objek dalam aduan dugaan pencemaran nama baik itu. Di situ saya melihat sama sekali tidak memenuhi unsur, karena dalam berita itu tak sedikit pun menyebutkan nama atau identitas orang yang dimaksud,” tegas Muslimin.
Sebagai Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum dan HAM Sulawesi Tengah, Muslimin merujuk pada ketentuan hukum yang berlaku dalam Pasal 310 KUHP serta Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Menurutnya, unsur pencemaran nama baik harus memenuhi beberapa kriteria, seperti adanya serangan terhadap kehormatan atau nama baik seseorang yang dilakukan secara sengaja dan ditujukan kepada subjek hukum yang jelas.
“Faktanya dalam berita itu tidak menyebutkan identitas para pihak. Tidak ada nama lengkap, alamat, atau keterangan personal lainnya yang bisa mengarah kepada seseorang secara spesifik. Bahkan, foto pihak yang dimaksud juga tidak dicantumkan,” jelasnya.
Muslimin juga menekankan bahwa penyamaran identitas dengan penggunaan istilah seperti “bos”, “A”, dan “bunga” menunjukkan bahwa tidak ada niat untuk menyerang kehormatan individu tertentu. Ketiga istilah tersebut bersifat umum dan tidak dapat dikaitkan langsung dengan seseorang secara hukum.
Lebih jauh, ia menyatakan bahwa dalam hukum pidana, keberadaan niat atau mens rea menjadi salah satu elemen penting dalam menentukan ada tidaknya perbuatan pidana.
“Dalam tubuh berita itu, kata yang digunakan adalah ‘oknum’, nama disamarkan, dan istilah yang dipakai adalah ‘dugaan’, bukan tuduhan langsung. Ini membuktikan bahwa tidak ada indikasi adanya iktikad buruk dari media yang bersangkutan. Maka, tidak ada niat jahat yang bisa dibuktikan,” katanya.
Muslimin juga mengkritik langkah penyidik Polda Sulteng yang langsung membawa perkara ini ke ranah pelanggaran UU ITE. Menurutnya, semestinya persoalan tersebut diselesaikan terlebih dahulu melalui mekanisme dalam Undang-Undang Pers, mengingat berita tersebut merupakan produk jurnalistik.
“Berita itu disusun berdasarkan informasi dari sumber terpercaya, identitas disamarkan, dan narasi yang dipakai tidak menghakimi, karena menggunakan istilah dugaan. Ini mencerminkan bahwa media itu menjalankan fungsi jurnalistik berdasarkan hak atas informasi publik,” ujarnya.
Dalam perkara ini, ia mengingatkan bahwa beban pembuktian ada di pihak pelapor. “Yang mengaku dirugikan harus membuktikan bahwa dirinya adalah pihak yang dimaksud dalam berita. Dan ini justru akan membuka terang identitas yang sebelumnya tersamar. Jadi, yang tadinya abu-abu bisa jadi terang benderang karena dibawa ke ranah hukum,” kata Muslimin menambahkan.
Sebelumnya, jurnalis Hendly Mangkali ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Sulteng atas laporan dugaan pencemaran nama baik melalui media daring. Laporan tersebut dilayangkan oleh anggota DPD RI, Febrianti Hongkiriwang. Ia merasa tersinggung dan namanya dicemarkan oleh sebuah artikel yang terbit dengan judul, “Istri Bos di Morut Main Kuda-kudaan dengan Bawahan”.
Dalam aduannya, Febrianti menganggap pemberitaan tersebut menyudutkan dirinya, meskipun nama lengkapnya tidak disebutkan. Berdasarkan laporan tersebut, penyidik kemudian menetapkan Hendly sebagai tersangka.
Hingga berita ini diturunkan, pihak Polda Sulteng belum memberikan keterangan resmi terbaru terkait perkembangan proses hukum terhadap Hendly Mangkali. (*)
Tidak ada komentar