Palu,- Yayasan Masyarakat Madani Indonesia (YAMMI) Sulawesi Tengah menyoroti dugaan pemalsuan dokumen persetujuan perubahan wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) oleh PT Bintang Delapan Wahana (BDW), dari Kabupaten Konawe Utara (Sulawesi Tenggara) ke Kabupaten Morowali (Sulawesi Tengah). Tersangka dalam kasus ini, FMI alias F, disebut telah menghilang sejak Agustus 2024.
Direktur Kampanye dan Advokasi YAMMI Sulteng, Africhal, SH, mengungkapkan bahwa FMI merupakan putra kelahiran Sulawesi Tengah yang belakangan berdomisili di Jakarta, setelah terjadinya perubahan kewenangan perizinan dari kabupaten ke provinsi, dan selanjutnya ke pemerintah pusat.
βMenurut beberapa sumber, yang bersangkutan telah berpindah tempat tinggal dan hingga kini tidak diketahui keberadaannya,β ujar Africhal.
FMI sebelumnya sempat ditahan di Rutan Polda Sulawesi Tengah pada 3 Juli 2024, namun hanya sekitar satu minggu. Salah satu sahabat dekat FMI yang datang menjenguk justru diberitahu oleh petugas bahwa tersangka telah mendapatkan penangguhan atau pengalihan jenis penahanan.
Africhal menyoroti bahwa sesuai Pasal 21 ayat (1) KUHAP, penahanan dilakukan jika terdapat kekhawatiran tersangka akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti, dan atau mengulangi tindak pidana. Namun faktanya, dokumen salinan asli dari dokumen palsu yang menjadi barang bukti utama hingga kini belum ditemukan.
βBerdasarkan hasil investigasi kami, dokumen tersebut diduga hilang atau sengaja dihilangkan. Pihak manajemen PT BDW hingga saat ini juga belum menunjukkan dokumen tersebut kepada penyidik,β tegas Africhal.
Ia juga menduga kuat bahwa proses penangguhan atau pengalihan penahanan FMI diurus oleh pihak manajemen perusahaan. Setelah itu, tersangka “diamankan” dan tidak diketahui keberadaannya. Menurut YAMMI, hal ini menjadi indikasi adanya upaya dari pihak perusahaan untuk menghentikan proses hukum.
βPemberian penangguhan penahanan oleh Polda Sulawesi Tengah kepada FMI merupakan bentuk ketidakprofesionalan dan kekeliruan yang fatal,β ujar Africhal.
YAMMI juga menegaskan bahwa FMI tidak mungkin membuat dokumen palsu tersebut tanpa ada pihak lain yang menyuruh atau mendorong. Apalagi, dokumen tersebut digunakan oleh manajemen PT BDW untuk mengurus pemindahan IUP dari Konawe Utara ke Morowali, yang berujung pada keuntungan bagi perusahaan.
βBerdasarkan AD/ART perusahaan, khususnya Pasal 10 hingga Pasal 12, yang bertanggung jawab atas perbuatan hukum, baik pidana maupun perdata, adalah Direktur Utama,β ungkap Africhal.
Terkait pernyataan Bupati Morowali yang mengaku tidak tahu menahu soal dokumen palsu, YAMMI mengingatkan bahwa Gubernur Sulawesi Tengah sendiri sebelumnya telah beberapa kali diperiksa oleh Mabes Polri dalam kasus ini.(*)
Tidak ada komentar