INIPALU.com – Sengketa lahan antara masyarakat adat Toraja dari rumpun Pong Salamba dengan PT Vale Indonesia di Desa Ululere, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, semakin memanas. Konflik ini berujung pada laporan polisi atas dugaan penyerobotan lahan dan pungutan liar (pungli) yang melibatkan pihak komunitas adat.
Pihak kepolisian mengeluarkan surat panggilan klarifikasi kepada anggota keluarga Pong Salamba, Hajar dan istrinya, Harniati Irwan. Undangan tersebut diterima pada 15 Februari 2025, hanya lima hari setelah Kapolsek Bungku Tengah, AKP Basri Pakaya, dan Kepala Desa Ululere, Arman, mendatangi pos penjagaan lahan yang dikelola oleh komunitas adat Pong Salamba.
Dalam surat panggilan tersebut, Hajar dan Harniati diminta hadir di Polsek Bungku Tengah pada Senin, 17 Februari 2025, pukul 10.00 WITA. Namun, Harniati menolak memenuhi panggilan dengan alasan adanya kekeliruan dalam penulisan namanya. Kuasa hukum rumpun Pong Salamba, Rukly Chahyadi, menegaskan bahwa kepolisian harus memperbaiki surat panggilan agar sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku.
Sengketa ini berakar dari klaim kepemilikan rumpun Pong Salamba atas tanah seluas 8.636 hektare. Klaim ini didasarkan pada surat keterangan Kepala Desa Mahalona yang dikeluarkan pada tahun 1998. Dalam dokumen tersebut, dinyatakan bahwa masyarakat Pong Salamba telah lama bermukim dan mengelola perkebunan damar di Langtua.
Secara administratif, lahan ini berada di perbatasan Sulawesi Tengah dan Sulawesi Selatan. Namun, PT Vale Indonesia mengklaim bahwa area tersebut termasuk dalam konsesi tambang mereka. Hal ini memicu ketegangan antara komunitas adat dan pihak perusahaan.
Pada 10 Februari 2025, terjadi insiden yang diduga sebagai bentuk intimidasi terhadap rumpun Pong Salamba. Kapolsek Bungku Tengah, AKP Basri Pakaya, bersama Kepala Desa Ululere, Arman, datang ke lokasi untuk menindaklanjuti laporan dugaan pungli yang dilakukan oleh komunitas adat terhadap aktivitas di wilayah tersebut.
Menurut pernyataan kuasa hukum Pong Salamba, Rukly Chahyadi, kedatangan aparat dinilai sebagai tekanan kepada masyarakat adat yang sedang memperjuangkan hak ulayat mereka.
“Kami menolak segala bentuk intimidasi terhadap komunitas adat. Seharusnya kepolisian bertindak netral dan tidak memihak kepentingan tertentu,” ujar Rukly.
Di sisi lain, Kapolsek Basri Pakaya membantah adanya intimidasi dan menegaskan bahwa langkah kepolisian dilakukan berdasarkan laporan masyarakat.
“Kami hanya menindaklanjuti laporan terkait dugaan pungutan liar. Tidak ada upaya intimidasi seperti yang dituduhkan,” katanya kepada media.
Media ini telah berusaha menghubungi Kepala Desa Ululere, Arman, untuk mendapatkan keterangan lebih lanjut mengenai sengketa ini. Namun, hingga berita ini diterbitkan, belum ada respons dari yang bersangkutan.
Selain itu, permohonan konfirmasi juga telah dikirimkan kepada PT Vale Indonesia terkait klaim konsesi lahan yang dipersengketakan. Namun, pihak perusahaan belum memberikan tanggapan resmi atas masalah ini.
Sementara itu, komunitas adat Pong Salamba berencana untuk membawa kasus ini ke jalur hukum guna memperjuangkan hak atas tanah warisan mereka. Kuasa hukum mereka menegaskan bahwa sengketa ini harus diselesaikan dengan mengacu pada prinsip hukum yang adil dan menghormati hak-hak masyarakat adat.
Sengketa lahan antara masyarakat adat dan perusahaan tambang bukanlah hal baru di Indonesia. Kasus serupa kerap terjadi dan sering kali berujung pada konflik berkepanjangan. Dengan meningkatnya ketegangan di Desa Ululere, harapan besar tertuju pada penyelesaian yang mengedepankan keadilan dan keberpihakan pada hak-hak masyarakat adat.(*)
dikutip dari : kabarsulteng.id
Tidak ada komentar