πŸ†˜οΈπ—•π—˜π—₯π—œπ—§π—”

Tambang Ilegal Sipayo: Ketika Gunung Dikeruk

×

Tambang Ilegal Sipayo: Ketika Gunung Dikeruk

Sebarkan artikel ini

PARIMO, – Di balik lereng Gunung Porerang yang hijau di Kecamatan Sidoan, Kabupaten Parigi Moutong (Parimo), suara mesin ekskavator kembali meraung. Sungai-sungai yang dulu jernih kini keruh keperakan, membawa butiran pasir bercampur limbah tambang. Desa Sipayo yang tenang berubah menjadi ladang berebut rezeki emas tanpa izin, tanpa kendali, dan tanpa tanggung jawab.

Fenomena ini bukan cerita baru. Namun yang membuatnya menarik sekaligus memalukan adalah bahwa kisah tambang ilegal di Sipayo telah berulang dengan pola yang sama: aparat bergerak, dewan berjanji, publik bereaksi, lalu semuanya senyap kembali.

Pada September 2025, publik kembali digegerkan oleh beredarnya surat berkop resmi Pemerintah Desa Sipayo yang berisi kesepakatan β€œpembagian pendapatan desa” dari aktivitas tambang emas. Surat itu ditandatangani langsung oleh Kepala Desa Nurdin Ilo Ilo, disertai stempel resmi pemerintah desa seolah-olah memberi legalitas pada aktivitas PETI di wilayahnya.

Bagi Arifin Lamalindu, Ketua Front Pemuda Kaili (FPK) dan pimpinan Aliansi Masyarakat Pesisir (AMP) Parimo, surat itu adalah alarm bahaya.

β€œKalau belum ada Izin Pertambangan Rakyat (IPR), maka surat itu ilegal. Kades tidak bisa seenaknya membuat kesepakatan dengan pelaku tambang. Ini cacat hukum,” tegas Arifin dikutip dari kontekssulawesi.

Ia menilai, praktik seperti itu hanyalah cara halus untuk melegalkan kegiatan ilegal yang justru merugikan masyarakat dan merusak lingkungan. Lebih jauh, Arifin menduga ada pihak-pihak tertentu yang membekingi aktivitas ini, mengubah wajah desa menjadi arena bisnis gelap yang dikendalikan oleh cukong dan elit lokal.

β€œKami dari FPK dan AMP mendesak DPRD agar berani membongkar siapa di balik semua ini. Jangan hanya masyarakat kecil yang dikorbankan,” ujarnya.

Setelah surat itu mencuat di media, Komisi I DPRD Parigi Moutong sempat bereaksi keras. Ketua Komisi, Muhammad Irfain, kala itu berjanji akan memanggil seluruh pihak melalui Rapat Dengar Pendapat (RDP) lintas komisi.

β€œIni pelanggaran ganda: tambang ilegal dan surat pungutan menggunakan kop desa. Kami akan segera tindaklanjuti,” tegas Irfain saat itu.

Namun, janji tinggal janji. RDP tak pernah digelar. Tidak ada panggilan resmi terhadap kepala desa, pelaku tambang, atau masyarakat terdampak.

Hingga kini, publik masih menunggu keberanian DPRD Parimo untuk menunjukkan fungsi pengawasan yang seharusnya melekat pada lembaga legislatif daerah.

β€œDPRD ini seperti kehilangan nyali. Padahal rakyat ingin tahu siapa yang bermain di balik PETI. Kalau mereka diam, bisa jadi karena ikut menikmati hasilnya,” sindir Arifin.

Langkah nyata justru datang dari Kepolisian Resor Parigi Moutong (Polres Parimo) yang memanggil Kades Sipayo, Nurdin Ilo Ilo, guna dimintai klarifikasi atas surat tersebut.

Kapolres Parimo AKBP Hendrawan Agustian membenarkan pemanggilan itu.

β€œKarena suratnya ramai di media, kita klarifikasi. Pemeriksaan masih berjalan, nanti hasilnya akan disampaikan,” ujarnya.

Namun, pemeriksaan itu dinilai belum menyentuh akar persoalan. Menurut sejumlah aktivis lingkungan, penyelidikan hanya berhenti pada level pelaksana, bukan pengendali.

β€œYang harus dibongkar bukan hanya yang tanda tangan, tapi siapa yang mendanai, siapa yang membekingi, dan ke mana aliran uang hasil tambang itu,” tegas Arifin.

Situasi makin panas ketika Bupati Parigi Moutong, Erwin Burase, mengaku terkejut mendengar kabar bahwa aktivitas PETI di Sipayo masih berlanjut.

β€œSaya kira sudah ditutup. Tapi kalau masih buka, saya perintahkan camat untuk berkoordinasi dengan aparat hukum menutupnya total,” kata Erwin, Selasa (14/10/2025).

Menurut Erwin, kegiatan tambang ilegal itu bukan hanya merusak alam di Sipayo, tapi juga mengancam wilayah Kabupaten Donggala karena kerusakan sudah menjalar hingga kawasan Gunung Porerang.

Di lapangan, Camat Sidoan Muamar, SH, jadi garda terdepan melawan praktik tambang ilegal ini. Dengan suara bergetar, ia mengungkap betapa sulit menertibkan para pemilik alat berat yang β€œkebal hukum”.

β€œPara cukong ini seperti malaikat, tidak bisa disentuh. Sudah kami undang rapat, tapi mereka tidak datang. Malah alat berat bertambah,” katanya dengan nada kesal.

Muamar mengaku sudah berkoordinasi dengan aparat TNI-Polri, bahkan mengeluarkan surat resmi penertiban. Namun, upaya itu diabaikan.

Ia juga menyebut dampak ekonomi masyarakat kian parah. Jalan rabat beton di Desa Lado, yang dibangun dari dana desa dan swadaya warga, rusak akibat lalu lintas alat berat.

β€œSekarang masyarakat susah mengangkut hasil kebun. Jalan hancur, sungai rusak, dan mereka yang untung hanya segelintir orang,” ujarnya.

Masalah PETI di Sipayo bukan sekadar soal tambang ilegal. Ia telah menjadi simbol kegagalan tata kelola pemerintahan daerah, lemahnya pengawasan legislatif, dan pudarnya kepercayaan rakyat terhadap hukum.

Ketika aparat penegak hukum lamban, DPRD bungkam, dan pemerintah desa bermain mata dengan cukong, masyarakat hanya bisa menonton lingkungan mereka rusak perlahan.

β€œKalau hukum tidak ditegakkan, rakyat akan kehilangan kepercayaan pada negara,” kata Muamar tegas.

Kasus Sipayo menunjukkan pola klasik konflik sumber daya alam di daerah: ketika tambang menjadi ladang ekonomi gelap yang melibatkan aktor politik, birokrasi desa, dan pengusaha bayangan.

Menurut sejumlah pemerhati lingkungan, keberadaan PETI kerap dibungkus dengan narasi β€œekonomi rakyat” untuk membenarkan eksploitasi yang sebenarnya dikendalikan oleh elit lokal. Masyarakat kecil hanya jadi β€œtameng sosial” menerima imbalan kecil sementara hasil besar mengalir ke saku cukong.

Di sisi lain, pemerintah daerah sering gamang antara penegakan hukum dan tekanan ekonomi, sehingga pendekatan β€œtebang pilih” masih dominan.

Kasus tambang ilegal di Sipayo bukan sekadar pelanggaran izin. Ia adalah cermin dari retaknya keadilan lingkungan dan moral politik.
Di tengah janji DPRD yang tak ditepati, aparat yang lamban, dan pengusaha yang kebal hukum, masyarakat Sipayo kini hidup di atas tanah yang dikuras tanpa izin dan tanpa kepastian.

Selama para aktor besar di balik PETI masih dilindungi oleh kekuasaan dan uang, keadilan di Sipayo hanya akan menjadi tambang wacana yang tak kunjung digali.(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *